Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda
Namanya
Karaeng Sangunglo (atau Sanguanglo). Ia adalah seorang keturunan
bangsawan Gowa di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki itu, yang menurut
kesaksian seorang Inggris, berbadan berdegap berkubur jauh di seberang
laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan kerajaan Kandy di jantung
pulau Ceylon (kini Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan
Inggris.
Walau nama Sangunglo atau Sanguanglo
terasa agak aneh dalam colloquial Makassar, namun secara linguistik
kata itu menyiratkan adanya kaitan dengan suku bangsa ini: kita tentu
ingat dengan nama Karaeng Sangkilang yang pernah disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Gowa. Boleh jadi juga nama Sangunglo adalah pelafalan hiperkorektif oleh lidah orang asing (Inggris, Belanda, atau orang Ceylon sendiri).
Akan
tetapi, lepas dari kekaburan arti nama itu, siapakah sesungguhnya
Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, yang saya rangkai
dari serpihan-serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang
Eropa, koran-koran tua, majalah dan buku-buku klasik, naskah bertulisan
Jawi (Arab gundul), dan sumber-sumber kedua.
Marilah
kira sejenak kembali ke istana Gowa di Sulawesi Selatan. Seorang calon
raja telah lahir tahun 1747 (Sumber lain menyebut dia lahir tahun 1749).
Ia diberi nama kecil Usman Amas Madina. Kelak setelah
besar ia terkenal dengan nama Sultan Fakhruddin. Ayahnya adalah Sultan
Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) dan ibunya adalah Karaeng
Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748)
dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga ri
Pasi alias I Mappaurrangi (1711-1713). Pada masa kerajaan Gowa jaya,
sebelum dikalahkan oleh VOC, perkawinan politik antara bangsawan Gowa
dengan bangsawan Bima di pulau Sumbawa adalah hal yang sudah biasa
terjadi.
Sultan
Abdul Quddus mendadak mangkat pada 1753. Konon beliau meninggal karena
diracun. Pada 21 Desember 1753 Dewan Bate Salapanga (Dewan Menteri Gowa)
memilih Sulaiman Amas Madina sebagai Sultan Gowa yang baru. Karena
masih terlalu muda (waktu itu umurnya baru kira-kira 7 tahun), Amas
Madina memerintah dengan sistem perwalian. Untuk menjalankan roda
pemerintahan Kerajaan Gowa Sultan yang masih kanak-kanak itu diwakili
oleh neneknya, Mangkasu mang Karaeng Lempangan. Dalam bulan Juni 1758
Dewan Bate Salapanga memberi gelar Batara Gowa kepada Amas
Madina, sesuai dengan adat kebiasaan di Gowa. Maksudnya semoga Sultan
masih sangat muda itu nantinya dapat mengembalikan keagungan Kerajaan
Gowa seperti ketika berada di bawah kekuasaan Batara Gowa (Raja Gowa
ke-7, tahun 1400-an). Pada zaman itu Kerajaan Gowa merdeka dan berdaulat
penuh da mencapai puncak kejayaannya.
Sang
nenek, Mangkubumi Karaeng Lempangan, meninggal dalam tahun 1760. Ia
digantikan oleh saudaranya I Temasongeng Karaeng Katangka. Perwalian
terhadap Amas Madina berakhir pada 29 Oktober 1765 ketika Dewan Bate
Salapanga secara resmi melantiknya menjadi Sultan Gowa ke-26 dengan
gelar Khalifah al-Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman
Batara Tangkana Gowa (berarti waktu itu Amas Madina sudah berumur 18
tahun).
Tetapi
rupanya Sultan Fakhruddin mengalami banyak kekecewaan dalam menjalankan
tugas pemerintahannya. Ia menghadapi intrik-intrik dalam keluarga
sendiri dan juga dengan Belanda yang sering menekannya secara politis.
Pada 12 Agustus 1766 Sultan Fakhruddin meninggalkan istana dan pergi ke
Bima di pulau Sumbawa, tanah kelahiran ibundanya. Para petinggi kerajaan
Gowa berusaha membujuknya agar kembali pulang, tapi Sultan Fakhruddin
tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.
Di
bandar Bima, ibukota kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku
yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan…budak, hati Sultan
Fakhruddin yang gundah menjadi lebih tenang. Adalah hakekat manusia pada
umumnya bahwa ketika sedang dirundung duka, dekat dengan ibunda dan
mendengar kata-kata yang keluar dari mulut orang yang melahirkan kita
itu, seperti mendapat siraman air dingin yang menyejukkan hati.
Namun, rupanya VOC terus menguntit Sultan Fakhruddin, yang mereka tuduh telah berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut Cella
Bangkahulu yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan
Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya, menentang monopoli
dagang Belanda di Nusantara bagian timur.
Pada
suatu hari, di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba
ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia
segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der
Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon. Pada tahun itu
juga (1676) Sultan Fakgruddin sampai di tanah pembuangan yang jauh itu.
Hidup di Colombo, Ceylon,
yang jauh dari tanah air sendiri, mungkin telah menyiksa batin keluarga
Sultan Fakhruddin. Hal itu dapat kita ketahui dari surat istrinya,
Sitti Hapipa, seorang wanita yang, dikesan dari isi suratnya itu,
terkesan cukup cerdas. Surat itu adalah Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526]
yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden
(Universiteitsbibliotheek Leiden), Belanda. Menurut Edwin Wieringa
(1998:391) Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] adalah letter
from Sitti Hapipa at Ceylon, widow of the exiled Sultan Fakhruddin of
Go[w]a, to the Governor General and the Raad van Indi, dated Kolombo, 3
Januari 1807; received at Batavia 29 May 1807.
Sitti Hapipa (sumber lain menyebutnya Siti
Habiba[h]) adalah istri kedua Sultan Fakahruddin. Rupanya, sebelum
kawin dengan Sitti Hapipa, Sultan Fakhruddin sudah punya seorang istri
lagi yang kemudian diceraikannya. Wanita itu, yang tidak diketahui
namanya, memberinya seorang anak lelaki. Dialah Karaeng Sangunglo, yang
kelak menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di
Ceylon.
Seperti
kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon,
Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang
dibentuk Belanda (belakangan bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah
dilikuidasi oleh Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan
Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan
dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja
yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima,
kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan
kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya
bangsa Timur.
Dalam
serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan
teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat
perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar
Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka
ditarik menjadi anggota pasukan pengawal istana Kandy. Karaeng Sangunglo
dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga
diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy yang nenek
moyang mereka berasal dari Nusantara.
Enam
saudara tiri Karaeng SangungloKaraeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah,
Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng
Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddinjuga ikut dalam Resimen
Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Inggris.
Surat
Sitti Hapipa juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di
Ceylon dan rasa rindu kepada Nusantara. Pergeseran politik di Ceylon
setelah diambil alih oleh Inggris dari Belanda (1796) ikut mempengaruhi
kehidupan para bangsawan buangan seperti keluarga Sultan Fakhruddin.
Sitti Hapipa menyebut dalam suratnya bahwa subsidi yang diberikan oleh
Inggris kepada keluarganya jauh lebih kurang dari yang mereka terima
dari Belanda. Mereka sulit bertahan hidup di Colombo karena biaya hidup
mahal dan rumah mereka diancam akan disita oleh pemerintah karena mereka
tak mampu membayar hutang. Sultan Fakhruddin, yang berhutang sampai
5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada hijrat
al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan,
harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah (25 Januari 1795) di
kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van
Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang
oleh Gubernur Angelbeek. Setelah minum teh dan makan septong roti, dia
jatuh pingsan dan kemudian meninggal.
Perang
yang menindas sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra
Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusufyang dalam
beberapa laporan Inggris disebut Captain Usop Gowadan
Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di
India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.
Tetapi
ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun
1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok
Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon.
Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam
penyerangan itu.
Mendekati
istana Kandy, Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam
kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin
dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan langsung dengan
saudara mereka sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empat
puluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berspisah. Kini sebuah reuni ironis terjadi dalam tatapan mata dan nafsu untuk saling membunuh.
Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya fat
and tall Malay prince di medan tempur. Dalam desingan peluru dan
tetakan kelewang, ia masih berusaha membujuk kedua saudara tirinya
menyeberang ke pihak Kandy. Namun ia gagal. Kapten Nuruddin dan Kapten
Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Kekerasan hati Kapten
Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang tetap berteguh hati membela Inggris
di satu pihak dan Karaeng Sangunglo untuk bersetia sampai mati membela
kerajaan Kandy di pihak lain, merefleksikan prinsip hidup orang
Makassar: sekali sebuah keputusan diambil, kesetiaan kepada keputusan
itu harus ditunjukkan sampai titik darah penghabisan. Dalam the First
Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya,
Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan
dengan upacara yang khidmat oleh otoritas kerajaan Kandy dan masyarakat
Kandyan Malays.
Gubernur
Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie
menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris,
termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama
Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada kerajaan
Kandy. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak, meskipun keduanya
sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu.
Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati
untuk tetap setia kepada Inggris.
Penolakan
itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa
yang akan terjadi jika raja murka: algojo diperintahkan mengesekusi
kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Raja Sri Vikrama melarang
mengubur mayat mereka. Jenazah mereka dilempar ke hutan dan menjadi
santapan celeng liar.
Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah simpul
sejarah yang dapat mempererat hubungan Indonesia-Sri Lanka. Seperti
halnya Syekh Yusuf al-Makasari, ia adalah seorang putra Indonesia yang
berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama
umat manusia. Bagi orang Makassar, membela kemanusiaan bisa dimana
saja. Ironisnya, nama Karaeng Sangunglo dilupakan di tanah airnya
sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan
namanya, juga di kota Makassar ini.
Riwayat hidup pahlawan
Indonesia seberang lautan itu agaknya perlu diteliti lebih lanjut jika
bangsa ini memang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.(*)
* Ekstrak ceramah yang diselenggarakan oleh Rumah Nusantara bekerjasama dengan harian Tribun Timur Makassar, Makassar, 12 Juli 2010.
http://www.tribun-timur.com/
Selasa, 13 Juli 2010 |
SUMBER : http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/425