Selasa, 19 Februari 2013

Gerakan Batara Gowa I Sangkilang (1776 M)


Pada masa kekuasaan Amas Madina (1753–1767 M) timbul usaha untuk bersatu menentang VOC. Baik Gowa maupun Bone  menganggap VOC telah terlalu banyak campur tangan  dalam hidup dan kehidupan kerajaan-kerajaan yang ada. Hal itu tampak ketika Raja Bone, La Temmassonge Datu Baringeng (1742-1775), mengusulkan untuk memberikan gelar “Batara” kepada Amas Madina. Akhirnya, pejabat tinggi Kerajaan Gowa dan Bate Salapang (Dewan Kerajaan) mengukuhkan gelar “Batara”  kepada Amas Madina”, pada bulan Juni 1758. Pemberian gelar itu diharapkan dapat mengembalikan masa kejayaan Kerajaan Gowa di masa lalu, karena gelar Batara mengandung arti Tuhan atau Dewa.
Pada tanggal 2 Agustus 1766, Batara Gowa Amas Madina meninggalkan Gowa menuju Bima, Sumbawa. Kepergian Amas Madina tanpa pemberitahuan sama sekali, sehingga menimbulkan pertanyaan besar bagi pembesar Kerajaan Gowa. Dilakukan upaya untuk mencari dan membujuknya kembali, namun semuanya gagal. Tanpa diduga, pada bulan April 1767, pihak Kompeni Belanda mengumumkan bahwa Batara Gowa bersama Cella Bengkulu, telah ditangkap karena telah melakukan perampokan di perairan Salaparang, Lombok. Diputuskan bahwa Amas Madina diasingkan ke  Ceylon.
Atas kabar tersebut, pada tanggal 23 April 1767, I Mallisudjawa Daeng ri Boko lebih dikenal dengan Arung Mampu, saudara Batara Gowa Amas Madina, dilantik menjadi Raja Gowa ke-27. Namun, setelah berkuasa kurangl ebih 2 tahun, ia memutuskan untuk meninggalkan istananya dan menetap di Barombong. Hal ini dilakukan karena beredar desas-desus bahwa ia merampas tahta Kerajaan Gowa dari saudaranya  sendiri. Mangkubumi Kerajaan Gowa ketika itu, I Temassongeng Karaeng Katangka menggantikannya sebagai pejabat raja, hingga pada tanggal 20 Agustus 1770, dinobatkan oleh Bate Salapang (Dewan Kerajaan) menjadi Raja Gowa ke-28 dengan gelar Sultan Zainuddin.
Pada tahun 1776, timbul satu masalah besar dalam Kerajaan Gowa. Pada waktu itu muncul satu gerakan pemberontakan yang dipimpin oleh seorang tokoh yang dikenal dengan nama I Sangkilang. Gerakan Pemberontakan berawal dengan munculnya sebuah perahu layar di muara sungai Sanrabone. Perahu itu berlabuh pada satu tempat yang sedang melangsungkan pesta. Di atas “Sangkilang” (balok melintang di buritan perahu) duduk seseorang yang berperangai aneh.Ia tidak mau menyebut siapa namanya, seperti layaknya orang bisu. Masyarakat menamainya I Sangkilang.
I Sangkilang bersama pengikutnya, turun menghadiri pesta itu. Dengan pakaian ala seorang penguasa besar (raja), ia tampil ke depan memperkenalkan bahwa dirinya adalah Batara Gowa yang pernah diasingkan ke Ceylon. Pernyataan itu menggemparkan mereka yang hadir. Berita itu  menyebar dan menggemparkan Kerajaan Gowa. Pro dan kontra tentang hal ini meluas. Ada kerajaan-kerajaan yang terletak di pedalaman mengakui hal itu dan menunjukkan kesetian pada I Sangkilang.
Berita tentang kembalinya Batara Gowa  dan berpihaknya sebagian raja-raja di pedalaman Gowa kepada  tokoh yang menyatakan diri sebagai Batara  Gowa akhirnya terdengar  oleh Raja Gowa, Sultan Zainuddin. Sultan Zainuddin mengutus Karaeng Pattung untuk menyelidiki kebenaran berita itu. Karaeng Pattung  segera menemui  tokoh yang menyatakan  diri Batara Gowa  itu. Setelah pertemuan itu, Karaeng Pattung juga mengakui dan meyakini  bahwa tokoh itu benar adalah Batara Gowa Amas Madina. Atas kejadian tersebut, Sultan Zainuddin merasa kedudukannya terancam dan memerintahkan membunuh Karaeng Pattung. Terbunuhnya  Karaeng Pattung  justru semakin memperluas  pengaruh dan memperbanyak pengikut  I Sangkilang. Bahkan  muncul pengakuan  dari  keluarga Batara  Gowa, seperti Karaeng Ballsari, Arung Mampu, Karaeng  Kanjilo, dan Karaeng Sapanang, bahwaI Sangkilang tidak lain adalah Batara  Gowa  Amas Madina.
I Sangkilang yang telah berhasil memperluas pengaruh  dan  memperbanyak pengikut, tidak segera melakukan  gerakan  pemberontakan secara besar-besaran.  Ia lebih cenderung mendahulukan usaha mempersatukan kekuatan  dan memperluas wilayah pengaruhnya ke  daerah-daerah di bagian Selatan (Zuider Provincie), seperti  Bangkala, Binamu, Laikang, dan  Polongbangkeng. Daerah-daerah ini statusnya sebagai kerajaan-kerajaan yang dipinjamkan Kompeni Belanda kepada Bone.
Pada bulan Mei 1779, I Sangkilang dan pasukannya menyerang Belanda di Maros.  Mereka berhasil  menguasai pos pertahanan Kompeni  Belanda dan beberapa distrik lainnya.  Namun demikian, keberhasilan I Sangkilang  menguasai Maros  berlangsung  singkat, karena  beberapa  hari kemudian pasukan Bone di bawah pimpinan  Datu  Baringeng berhasil mengambil alih.  Ketika itulah, pasukan I Sangkilang bergerak ke arah Tallo. Ratu Tallo Sitti Saleha, menyambut baik kedatangan I Sangkilang, bahkan  menyatakan bahwa Tallo terlepas dari Kerajaan Gowa dan untuk penyelenggaraan pemerintahannya diserahkan kepada I Sangkilang. Penguasaannya terhadap Tallo tidak berlangsung lama, karena Tallo kemudian diambil alih dan dikuasai oleh sekutu Kompeni Belanda yaitu Datu Tanete Arung  Pancana.

 SUMBER : http://www.laboratoriumsejarah.com/gerakan-batara-gowa-i-sangkilang-1776-m/

Heroisme Bangsawan Gowa dan Saudara-saudaranya di Sri Lanka

Suryadi, dosen dan peneliti di Leiden Institute for Area Studies / School of Asian Studies, Leiden University, Belanda

Namanya Karaeng Sangunglo (atau Sanguanglo). Ia adalah seorang keturunan bangsawan Gowa di Sulawesi Selatan. Tapi lelaki itu, yang menurut kesaksian seorang Inggris, berbadan berdegap berkubur jauh di seberang laut Sahilan. Ia tewas dalam mempertahankan kerajaan Kandy di jantung pulau Ceylon (kini Sri Lanka) dari aneksasi kolonialis Belanda dan Inggris.
Walau nama Sangunglo atau Sanguanglo terasa agak aneh dalam colloquial Makassar, namun secara linguistik kata itu menyiratkan adanya kaitan dengan suku bangsa ini: kita tentu ingat dengan nama Karaeng Sangkilang yang pernah disebut-sebut dalam sejarah kerajaan Gowa. Boleh jadi juga nama Sangunglo adalah pelafalan hiperkorektif oleh lidah orang asing (Inggris, Belanda, atau orang Ceylon sendiri).

Akan tetapi, lepas dari kekaburan arti nama itu, siapakah sesungguhnya Karaeng Sangunglo? Inilah hikayat tentang dirinya, yang saya rangkai dari serpihan-serpihan data sejarah yang terserak dalam laporan orang Eropa, koran-koran tua, majalah dan buku-buku klasik, naskah bertulisan Jawi (Arab gundul), dan sumber-sumber kedua.
Marilah kira sejenak kembali ke istana Gowa di Sulawesi Selatan. Seorang calon raja telah lahir tahun 1747 (Sumber lain menyebut dia lahir tahun 1749). Ia diberi nama kecil Usman Amas Madina. Kelak setelah besar ia terkenal dengan nama Sultan Fakhruddin. Ayahnya adalah Sultan Abdul Quddus (Sultan Gowa ke-25; 1742-1753) dan ibunya adalah Karaeng Ballasari, putri pasangan Sultan Bima, Alauddin Riayat Syah (1731-1748) dan Karaeng Tanasangka, putri Sultan Gowa ke-21, Sirajuddin Tumenanga ri Pasi alias I Mappaurrangi (1711-1713). Pada masa kerajaan Gowa jaya, sebelum dikalahkan oleh VOC, perkawinan politik antara bangsawan Gowa dengan bangsawan Bima di pulau Sumbawa adalah hal yang sudah biasa terjadi.
Sultan Abdul Quddus mendadak mangkat pada 1753. Konon beliau meninggal karena diracun. Pada 21 Desember 1753 Dewan Bate Salapanga (Dewan Menteri Gowa) memilih Sulaiman Amas Madina sebagai Sultan Gowa yang baru. Karena masih terlalu muda (waktu itu umurnya baru kira-kira 7 tahun), Amas Madina memerintah dengan sistem perwalian. Untuk menjalankan roda pemerintahan Kerajaan Gowa Sultan yang masih kanak-kanak itu diwakili oleh neneknya, Mangkasu mang Karaeng Lempangan. Dalam bulan Juni 1758 Dewan Bate Salapanga memberi gelar Batara Gowa kepada Amas Madina, sesuai dengan adat kebiasaan di Gowa. Maksudnya semoga Sultan masih sangat muda itu nantinya dapat mengembalikan keagungan Kerajaan Gowa seperti ketika berada di bawah kekuasaan Batara Gowa (Raja Gowa ke-7, tahun 1400-an). Pada zaman itu Kerajaan Gowa merdeka dan berdaulat penuh da mencapai puncak kejayaannya.
Sang nenek, Mangkubumi Karaeng Lempangan, meninggal dalam tahun 1760. Ia digantikan oleh saudaranya I Temasongeng Karaeng Katangka. Perwalian terhadap Amas Madina berakhir pada 29 Oktober 1765 ketika Dewan Bate Salapanga secara resmi melantiknya menjadi Sultan Gowa ke-26 dengan gelar Khalifah al-Sultan Fakhruddin Abdul Khair al-Mansur Baginda Usman Batara Tangkana Gowa (berarti waktu itu Amas Madina sudah berumur 18 tahun).
Tetapi rupanya Sultan Fakhruddin mengalami banyak kekecewaan dalam menjalankan tugas pemerintahannya. Ia menghadapi intrik-intrik dalam keluarga sendiri dan juga dengan Belanda yang sering menekannya secara politis. Pada 12 Agustus 1766 Sultan Fakhruddin meninggalkan istana dan pergi ke Bima di pulau Sumbawa, tanah kelahiran ibundanya. Para petinggi kerajaan Gowa berusaha membujuknya agar kembali pulang, tapi Sultan Fakhruddin tak hendak lagi kepada mahkota dan istana.
Di bandar Bima, ibukota kerajaan Bima, penghasil kayu sepang sekeras paku yang digemari Belanda, madu, sarang burung, dan…budak, hati Sultan Fakhruddin yang gundah menjadi lebih tenang. Adalah hakekat manusia pada umumnya bahwa ketika sedang dirundung duka, dekat dengan ibunda dan mendengar kata-kata yang keluar dari mulut orang yang melahirkan kita itu, seperti mendapat siraman air dingin yang menyejukkan hati.
Namun, rupanya VOC terus menguntit Sultan Fakhruddin, yang mereka tuduh telah berkonspirasi dengan sebuah sindikat yang disebut Cella Bangkahulu yang berhubungan dengan Inggris. VOC menganggap Sultan Fakhruddin melakukan manuver politik yang berbahaya, menentang monopoli dagang Belanda di Nusantara bagian timur.
Pada suatu hari, di tahun 1767, Sultan Fakhruddin dan ibunya tiba-tiba ditangkap atas perintah Jacob Bikkes Bakker, Residen Belanda di Bima. Ia segera dibawa ke Batavia. Gubernur Jenderal Petrus Albertus van der Parra memberi perintah: Sultan harus dibuang ke Ceylon. Pada tahun itu juga (1676) Sultan Fakgruddin sampai di tanah pembuangan yang jauh itu.
Hidup di Colombo, Ceylon, yang jauh dari tanah air sendiri, mungkin telah menyiksa batin keluarga Sultan Fakhruddin. Hal itu dapat kita ketahui dari surat istrinya, Sitti Hapipa, seorang wanita yang, dikesan dari isi suratnya itu, terkesan cukup cerdas. Surat itu adalah Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] yang kini tersimpan di Perpustakaan Universitas Leiden (Universiteitsbibliotheek Leiden), Belanda. Menurut Edwin Wieringa (1998:391) Cod.Or.2241-I 25 [Klt 21/no.526] adalah letter from Sitti Hapipa at Ceylon, widow of the exiled Sultan Fakhruddin of Go[w]a, to the Governor General and the Raad van Indi, dated Kolombo, 3 Januari 1807; received at Batavia 29 May 1807.
Sitti Hapipa (sumber lain menyebutnya Siti Habiba[h]) adalah istri kedua Sultan Fakahruddin. Rupanya, sebelum kawin dengan Sitti Hapipa, Sultan Fakhruddin sudah punya seorang istri lagi yang kemudian diceraikannya. Wanita itu, yang tidak diketahui namanya, memberinya seorang anak lelaki. Dialah Karaeng Sangunglo, yang kelak menjadi pahlawan Melayu yang harum namanya dan melegenda di Ceylon.
Seperti kebanyakan keluarga bangsawan Nusantara yang dibuang VOC ke Ceylon, Karaeng Sangunglo muda terpaksa ikut dalam Resimen Melayu Ceylon yang dibentuk Belanda (belakangan bernama the Ceylon Rifle Regiment setelah dilikuidasi oleh Inggris yang menduduki Ceylon tahun 1796). Sultan Fakhruddin dan keluarganya hidup di Colombo dengan menerima gaji bulanan dari pemerintah. Mungkin ini cara Belanda mengobat hati seorang raja yang dengan paksa dibuang ke negeri yang jauh: anak-anaknya diterima, kadang juga dipaksa ikut, dalam resimen ketentaraan pribumi pasukan kolonial bikinan si penjajah. Gunanya untuk memerangi sesama saudaranya bangsa Timur.
Dalam serangan VOC ke wilayah Kandy tahun 1761 Karaeng Sangunglo dan teman-temannya membelot ke pihak Kandy. Jiwanya memberontak melihat perlakuan kejam Belanda kepada kaum pribumi Ceylon. Raja Kandy, Nayakkar Kirthi Rajasinha (1747-1782) menerima suka para desertir itu. Mereka ditarik menjadi anggota pasukan pengawal istana Kandy. Karaeng Sangunglo dianugerahi gelar kehormatan Muhandiram oleh Raja Nayakkar. Ia juga diangkat menjadi pemimpin sekitar 300 orang kaum Melayu Kandy yang nenek moyang mereka berasal dari Nusantara.
Enam saudara tiri Karaeng SangungloKaraeng Yusuf, Kapten Karaeng Abdullah, Kapten Karaeng Muhammad Nuruddin, Karaeng Segeri Zainal Abidin, Karaeng Sapanang Yunusu, dan Kapten Karaeng Saifuddinjuga ikut dalam Resimen Melayu Ceylon. Tapi mereka sangat setia kepada Inggris.
Surat Sitti Hapipa juga menceritakan suka-duka hidup sebagai orang buangan di Ceylon dan rasa rindu kepada Nusantara. Pergeseran politik di Ceylon setelah diambil alih oleh Inggris dari Belanda (1796) ikut mempengaruhi kehidupan para bangsawan buangan seperti keluarga Sultan Fakhruddin. Sitti Hapipa menyebut dalam suratnya bahwa subsidi yang diberikan oleh Inggris kepada keluarganya jauh lebih kurang dari yang mereka terima dari Belanda. Mereka sulit bertahan hidup di Colombo karena biaya hidup mahal dan rumah mereka diancam akan disita oleh pemerintah karena mereka tak mampu membayar hutang. Sultan Fakhruddin, yang berhutang sampai 5000 Rial, wafat dalam usia sekitar 46 tahun pada hijrat al-nubuwat sanat 921 [1209] tahun Ha bulan Rajab empat hari dari bulan, harinya Ahad tengah hari jam pukul satu setengah (25 Januari 1795) di kediaman resmi Gubernur terakhir Belanda di Ceylon, Johan Gerard van Angelbeek, di Colombo. Waktu itu Sultan Fakhruddin diundang makan siang oleh Gubernur Angelbeek. Setelah minum teh dan makan septong roti, dia jatuh pingsan dan kemudian meninggal.
Perang yang menindas sesama manusia di Ceylon telah membunuh ketujuh putra Sultan Fakhruddin. Dua si antaranya, yaitu Karaeng Yusufyang dalam beberapa laporan Inggris disebut Captain Usop Gowadan Karaeng Abdullah, tewas membela bendera Inggris dalam perang Polygar di India Selatan (Tamil Nadu) tahun 1800.
Tetapi ada yang tragis dalam kematian ketujuh lelaki bersaudara itu. Di tahun 1803 pasukan Inggris yang dipimpin Mayor Davie mencoba mencaplok Kerajaan Kandy. Serangan itu mengikutsertakan Resimen Melayu Ceylon. Kapten Karaeng Nuruddin dan Kapten Karaeng Saifuddin ikut pula dalam penyerangan itu.
Mendekati istana Kandy, Pasukan Mayor Davie mendapat perlawanan hebat. Dalam kecamuk perang tiga bersaudara bertemu di medan tempur. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang membela Inggris berhadapan langsung dengan saudara mereka sendiri, Karaeng Sangunglo, yang membela Kandy. Empat puluh tahun lebih sudah sesama saudara tiri itu berspisah. Kini sebuah reuni ironis terjadi dalam tatapan mata dan nafsu untuk saling membunuh.
Greevings, seorang anggota tentara Inggris, mencatat keberanian Karaeng Sangunglo, yang disebutnya fat and tall Malay prince di medan tempur. Dalam desingan peluru dan tetakan kelewang, ia masih berusaha membujuk kedua saudara tirinya menyeberang ke pihak Kandy. Namun ia gagal. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin tetap setia kepada Tuan Inggrisnya. Kekerasan hati Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin yang tetap berteguh hati membela Inggris di satu pihak dan Karaeng Sangunglo untuk bersetia sampai mati membela kerajaan Kandy di pihak lain, merefleksikan prinsip hidup orang Makassar: sekali sebuah keputusan diambil, kesetiaan kepada keputusan itu harus ditunjukkan sampai titik darah penghabisan. Dalam the First Anglo-Kandyan War itu Inggris menderita kekalahan telak. Tragisnya, Karaeng Sangunglo tewas di tangan Mayor Davie. Jenazahnya dikebumikan dengan upacara yang khidmat oleh otoritas kerajaan Kandy dan masyarakat Kandyan Malays.
Gubernur Frederick North (1798-1805) di Colombo memerintahkan Mayor Davie menyerah kepada musuh. Tentara Kandy menawan sisa pasukan Inggris, termasuk Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin. Raja Kandy, Sri Vikrama Rajasinha (1798-1815), minta keduanya mengabdikan diri kepada kerajaan Kandy. Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin menolak, meskipun keduanya sudah diberi dua kali kesempatan untuk mempertimbangkan tawaran itu. Rupanya Kapten Nuruddin dan Kapten Saifuddin telah bersumpah sampai mati untuk tetap setia kepada Inggris.
Penolakan itu membuat Raja Sri Vikrama amat murka. Sudah dapat diramalkan apa yang akan terjadi jika raja murka: algojo diperintahkan mengesekusi kedua saudara tiri Karaeng Sangunglo itu. Raja Sri Vikrama melarang mengubur mayat mereka. Jenazah mereka dilempar ke hutan dan menjadi santapan celeng liar.
Karaeng Sangunglo, yang dikenang sebagai pahlawan (Melayu) di Ceylon, adalah simpul sejarah yang dapat mempererat hubungan Indonesia-Sri Lanka. Seperti halnya Syekh Yusuf al-Makasari, ia adalah seorang putra Indonesia yang berjuang di negeri yang jauh melawan penjajah Eropa yang menindas sesama umat manusia. Bagi orang Makassar, membela kemanusiaan bisa dimana saja. Ironisnya, nama Karaeng Sangunglo dilupakan di tanah airnya sendiri. Tak ada nama sebuah gang pun di negeri ini yang mengabadikan namanya, juga di kota Makassar ini.
Riwayat hidup pahlawan Indonesia seberang lautan itu agaknya perlu diteliti lebih lanjut jika bangsa ini memang suka menghargai jasa-jasa pahlawannya.(*)
* Ekstrak ceramah yang diselenggarakan oleh Rumah Nusantara bekerjasama dengan harian Tribun Timur Makassar, Makassar, 12 Juli 2010.
http://www.tribun-timur.com/
Selasa, 13 Juli 2010 | 

SUMBER : http://niadilova.blogdetik.com/index.php/archives/425